Makalah Teladan Para Tokoh
Nasional
“Untuk memenuhi Tugas Kelompok
Sejarah Indonesia”
Disusun
Oleh XII AP3
1.Alicia Jihan
Alifah
2.Dinda Uswatul
Ummah
3.Fifi Febriani
Imawati
4.Khairul Ahyar
5.Meutia Jasmine
6.Naufa
Fitrianingrum
7.Shelin
8.Sinta Anggita
Damayanti
SMK
NEGERI 2 CIKARANG BARAT
JL. Fatahillah No. 1A Cikarang
Barat 17530, Telp (021) 8900578
Website : smkn2cikbar.sch.id
2016
Kata Pengantar
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, Karena rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
dan dapat menyusun makalah tentang “Teladan Para Tokoh Persatuan” Untuk
memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran
dan kritik membangun yangg ditunjukan demi kesempurnan makalah ini. semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak.
Bekasi, 04 Agustus 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.......................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2
DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3
BAB I Pendahuluan
A. .Latar Belakang.............................................................................................................. 4
1.1 Batasan Masalah............................................................................................................ 5
1.2.Rumusan
Masalah.......................................................................................................... 5
1.3.Tujuan ........................................................................................................................... 5
BAB II Pembahasan
2.1 Teladan Para Tokoh Persatuan Papua........................................................................... 6
2.2 Para Raja yang Berkorban Untuk Bangsa.................................................................... 8
2.3 Mewujudkan
Integrasi Melalui Seni dan Sastra........................................................... 10
2.4 Perempuan Pejuang...................................................................................................... 11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tahukah
kalian bahwa jumlah tokoh yang telah diangkat oleh pemerintah sebagai pahlawan
nasional hingga tahun 2014 ini adalah 159 orang? Tidak sembarangan orang memang dapat menyandang secara resmi gelar
pahlawan nasional.Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi.salah satu
diantaranya adalah tokoh tersebut telah memimpin dan melakukan perjuangan
bersenjata atau perjuangan dalam bidang lainnya untuk mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi
kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Beberapa
tokoh dibawah ini merupakan para pahlawan nasional yang memiliki jasa dalam
mewujudkan integrasi bangsa Indonesia.
Untuk
pahlawan dari daerah, kita akan mengambil para pejuang yang berasal dari
wilayah paling timur Indonesia,yaitu Papua. tiga tokoh yang dibahas yaitu:Frans
Kaisiepo,Silas Papare dan Marthen Indey.
Keteladanan
para tokoh pahlawan nasional Indonesia dalam bentuk pengorbanan jabatan dan
materi dari mereka yang berstatus raja. Sultan Hamengkubuwono IX dan Sultan
Syarif Kasim II adalah dua tokoh nasional yang mengedepankan keindonesiaan
daripada kekuasaan atas kerajaan sah yang mereka pimpin, tanpa menghitung
untung-ruginya.
Selain
tokoh-tokoh yang berkiprah dalam bidang politik dan perjuangan bersenjata,
tokoh pahlawan yang akan mengambil hikmah keteladanan tokoh yang berjuang
dibidang seni, yaitu Ismail Marzuki sebagai pencipta lagu-lagu nasional.
1
Batasan Masalah
Untuk mempersingkat pembahasan, dibatasi masalah pada beberapa
hal berikut ini :
1.
Macam-macam tokoh pahlawan nasional persatuan
3.
Keteladanan para tokoh pahlawan nasional
Indonesia yang
Berkorban Untuk Bangsa
4.
Keteladanan tokoh yang berjuang dibidang
seni
5.
Perempuan Berjuang
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah pada beberapa hal berikut
ini :
1. Sebutkan Macam-macam
tokoh pahlawan nasional persatuan ?
2. Bagaimanna
Peran dari Para Tokoh Persatuan Papua ?
3.
Mengapa Belanda mengancam Sultan Hamengkubuwono IX ?
4.
Mengapa Ismail Marzuki tidak ingin bekerjasama dengan
Belanda ?
5.
Mengapa Pada masa pendudukan
Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan dapat diketahui dari pembahasan makalah ini adalah
1.
Pembaca dapat mengetahui Macam-macam
tokoh pahlawan nasional persatuan
2.
Pembaca dapat mengetahui Peranan dari dari Para Tokoh Persatuan Papua
3.
Pembaca dapat mengetahui Sebab akibat mengapa Belanda
mengancam Sultan Hamengkubuwono IX
4.
Pembaca dapat mengetahui Sebab – akibat mengapa Ismail
Marzuki tidak ingin bekerjasama dengan Belanda
5.
Pembaca dapat mengetahui Sebab – akibat Mengapa
Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di
PSII.
BAB II
PEMBAHASAN
a). Frans
Kaisiepo (1921-1979)
Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak,
Papua, 10 Oktober 1912 . Beliau adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua
yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang
jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak.
Frans Kaisiepo dan rakyat Biak kemudian terus mengadakan perlawanan menentang
Belanda di Irian. Saat Konferensi Meja Bundar (KMB), Frans menolak diangkat
sebagai anggota Delegasi Belanda. Akibatnya, ia dihukum dan diasingkan ke
daerah terpencil. Beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional dengan SK
Pres: 077 /TK/ 1993 bertanggal 14- 9-1993.
Beliau turut berperan dalam pendirian Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada
tanggal 10 Mei 1946 dan dalam tahun yang sama, Kaisiepo menjadi anggota
delegasi Papua dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan.Dalam konferensi
ini, Frans Kaisiepo juga menentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT)
karena NIT tidak memasukkan Papua ke dalamnya. Ia lalu mengusulkan agar Papua
dimasukkan ke dalam Keresidenan Sulawesi Utara. Beliau menyebut Papua
(Nederlands Nieuw Guinea) dengan nama Irian yang konon diambil dari bahasa Biak
dan berarti daerah panas. Namun kata Irian tersebut malah diberinya pengertian
lain : “Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands. Tahun 1948 Kaisiepo ikut
berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak melawan pemerintah kolonial
Belanda. Setahun setelahnya, ia menolak menjadi ketua delegasi Nederlands Nieuw
Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Tahun 1961 ia mendirikan
partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang menuntut penyatuan Nederlans
Nieuw Guinea ke negara Republik Indonesia.Pada akhir tahun 1960-an, Kaisiepo
berupaya agar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) bisa dimenangkan oleh
masyarakat yang ingin Papua bergabung ke Indonesia.
b). Silas Papare (1918-1978).
Silas Papare lahir di Serui, Papua, 18 Desember 1918 adalah seorang pejuang
penyatuan Irian Jaya (Papua) ke dalam wilayah Indonesia. Beliau adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang
Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare. Monumen Silas Papare juga
didirikan di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Nama Beliau juga
diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas
Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire, nama Silas
Papare dikenang dalam wujud nama jalan. Silas Papare membentuk Komite Indonesia
Merdeka (KIM) hanya sekitar sebulan setelah Indonesia merdeka. Tujuan KIM yang
dibentuk pada bulan September 1945 ini adalah untuk menghimpun kekuatan dan
mengatur gerak langkah perjuangan dalam membela dan mempertahankan proklamasi
17 Agustus 1945. Bulan Desember tahun yang sama, Silas Papare bersama
Marthen Indey dianggap mempengaruhi Batalyon Papua bentukan Sekutu untuk
memberontak terhadap Belanda. Silas Papare mendirikan Partai Kemerdekaaan
Irian, partai ini kemudian diundang pemerintah RI ke Yogyakarta. Silas Papare
bersama dengan teman-temannya membentuk Badan Perjuangan Irian di
Yogyakarta. Sepanjang tahun 1950-an ia berusaha keras agar Papua menjadi
bagian dari Republik Indonesia. Tahun 1962 ia mewakili Irian Barat duduk
sebagai anggota delegasi RI dalam Perundingan New York antara Indonesia-Belanda
dalam upaya penyelesaian masalah Papua. Berdasarkan “New York Agreement” ini,
Belanda akhirnya setuju untuk mengembalikan Papua ke Indonesia.
c). Marthen
Indey (1912–1986)
Marthen Indey (ahir di Doromena, 14 Maret 1912 merupakan putra Papua yang
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional
Indonesia berdasar SK Presiden No.077 /TK/ 1993 tgl. 14 September 1993 bersama
dengan dua putra Papua lainnya yaitu Frans Kaisiepo dan Silas Papare. sebelum
Jepang masuk ke Indonesia adalah seorang anggota polisi Hindia Belanda. Namun
jabatan ini bukan berarti melunturkan sikap nasionalismenya. Keindonesiaan yang
ia miliki justru semakin tumbuh tatkala ia kerap berinteraksi dengan tahanan
politik Indonesia yang dibuang Belanda ke Papua.
Antara tahun 1945-1947, Indey masih menjadi pegawai pemerintah Belanda
dengan jabatan sebagai Kepala Distrik. Meski demikian, bersama-sama kaum
nasionalis di Papua, secara sembunyi-sembunyi ia malah menyiapkan
pemberontakan. Tetapi sekali lagi, pemberontakan ini gagal dilaksanakan.Sejak
tahun 1946 Marthen Indey menjadi Ketua Partai Indonesia Merdeka (PIM). Ia lalu
memimpin sebuah aksi protes yang didukung delegasi 12 Kepala Suku terhadap
keinginan Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.Tahun 1962, saat
Marthen Indey menyusun kekuatan gerilya sambil menunggu kedatangan tentara
Indonesia yang akan diterjunkan ke Papua dalam rangka operasi
Trikora. Beliau diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Dan juga diangkat sebagai
kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler
selama dua puluh tahun.Saat perang usai, ia berangkat ke New York untuk
memperjuangkan masuknya Papua ke wilayah Indonesia, di PBB hingga akhirnya
Papua (Irian) benar-benar menjadi bagian Republik Indonesia.
Saat Indonesia merdeka,
di Indonesia, masih ada kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Hebatnya, para
penguasa kerajaan-kerajaan tersebut lebih memilih untuk meleburkan kerajaan
mereka ke dalam negara Republik Indonesia. Hal ini bisa terjadi tak lain karena
dalam diri para raja dan rakyat di daerah mereka telah tertanam dengan begitu
kuat rasa kebangsaan Indonesia.
Meski demikian tak semua
raja mau bergabung dengan negara kesatuan RI. Sultan Hamid II dari Pontianak
misalnya, bahkan pada tahun 1950-an lebih memilih berontak hingga turut serta
dalam rencana pembunuhan terhadap beberapa tokoh dan pejabat di Jakarta, meski
akhirnya mengalami kegagalan.
a) Sultan Hamengkubuwono IX
Pada tahun 1940, ketika
Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan menjadi raja Yogjakarta, ia dengan tegas
menunjukkan sikap nasionalismenya. Sikapnya ini kemudian diperkuat manakala
tidak sampai 3 minggu setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan, Sultan
Hamengkubuwono IX menyatakan Kerajaan Yogjakarta adalah bagian dari negara
Republik Indonesia.
Dimulai pada tanggal 19 Agustus, Sultan
mengirim telegram ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas terbentuknya
Republik Indonesia dan terpilihnya Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil
Presiden. Tanggal 20 Agustus besoknya, melalui telegram kembali, Sultan dengan
tegas menyatakan berdiri di belakang Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Dan
akhirnya pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan
amanat bahwa:
1.
Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat
kerajaan adalah daerah istimewa dari Republik Indonesia.
2.
Segala kekuasaan dalam negeri
Ngayogyakarta Hadiningrat dan urusan pemerintahan berada di tangan
Hamengkubuwono IX.
3.
Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat
dengan pemerintah RI bersifat langsung dan Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung
jawab kepada Presiden RI.
Sejak awal kemerdekaan,
Sultan memberikan banyak fasilitas bagi pemerintah RI yang baru terbentuk untuk
menjalankan roda pemerintahan. Markas TKR dan ibukota RI misalnya, pernah
berada di Yogjakarta atas saran Sultan. Bantuan logistik dan perlindungan bagi
kesatuan-kesatuan TNI tatkala perang kemerdekaan berlangsung, juga ia berikan.
Sultan Hamengkubuwono IX
juga pernah menolak tawaran Belanda yang akan menjadikannya raja seluruh Jawa
setelah agresi militer Belanda II berlangsung. Belanda rupanya ingin memisahkan
Sultan yang memiliki pengaruh besar itu dengan Republik. Bukan saja bujukan,
Belanda bahkan juga sampai mengancam Sultan. Namun Sultan Hamengkubuwono IX
malah menghadapi ancaman tersebut dengan berani.
b). Sultan Syarif Kasim
II (1893-1968).
Sultan Syarif Kasim II
dinobatkan menjadi raja Siak Indrapura pada tahun 1915 ketika berusia 21 tahun.
Ia memiliki sikap bahwa kerajaan Siak berkedudukan sejajar dengan Belanda.
Berbagai kebijakan yang ia lakukan pun kerap bertentangan dengan keinginan Belanda.
Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai ke Siak, Sultan Syarif
Kasim II segera mengirim surat kepada Soekarno-Hatta, menyatakan kesetiaan dan
dukungan terhadap pemerintah RI serta menyerahkan harta senilai 13 juta gulden
untuk membantu perjuangan RI.
Tindak lanjut
berikutnya, Sultan Syarif Kasim II membentuk Komite Nasional Indonesia di Siak,
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Republik. Ia juga segera
mengadakan rapat umum di istana serta mengibarkan bendera Merah-Putih, dan
mengajak raja-raja di Sumatera Timur lainnya agar turut memihak republik.
Saat revolusi
kemerdekaan pecah, Sultan aktif mensuplai bahan makanan untuk para laskar. Ia
juga kembali menyerahkan kembali 30 % harta kekayaannya berupa emas kepada
Presiden Soekarno di Yogyakarta bagi kepentingan perjuangan. Ketika Van Mook,
Gubernur Jenderal de facto Hindia Belanda, mengangkatnya sebagai “Sultan
Boneka”Belanda, Sultan Syarif Kasim II tentu saja menolak. Ia tetap memilih
bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Atas jasanya tersebut, Sultan
Syarif Kasim II dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.
2.3 Mewujudkan Integrasi Melalui Seni dan Sastra
Ismail Marzuki (1914 – 1958). Dilahirkan di Jakarta,
Ismail Marzuki memang berasal dari keluarga seniman. Di usia 17 tahun ia
berhasil mengarang lagu pertamanya, berjudul “O Sarinah”. Tahun 1936, Ismail
Marzuki masuk perkumpulan musik Lief Java dan berkesempatan mengisi siaran
musik di radio. Pada saat inilah ia mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu barat
untuk kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri. Lagu-lagu yang diciptakan Ismail
Marzuki itu sangat diwarnai oleh semangat kecintaannya terhadap tanah air.
Latar belakang keluarga, pendidikan dan pergaulannyalah yang menanamkan
perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap penderitaan bangsanya. ketika RRI
dikuasai Belanda pada tahun 1947 misalnya, Ismail Marzuki yang sebelumnya aktif
dalam orkes radio memutuskan keluar karena tidak mau bekerjasama dengan
Belanda. Ketika RRI kembali diambil alih republik, ia baru mau kembali bekerja
di sana.
Lagu-lagu Ismail Marzuki yang sarat
dengan nilai-nilai perjuangan yang menggugah rasa kecintaan terhadap tanah air
dan bangsa, antara lain Rayuan Pulau Kelapa (1944), Halo-Halo Bandung (1946)
yang diciptakan ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, Selendang Sutera
(1946) yang diciptakan pada saat revolusi kemerdekaan untuk membangkitkan
semangat juang pada waktu itu dan Sepasang Mata Bola (1946) yang menggambarkan
harapan rakyat untuk merdeka. Meskipun memiliki fisik yang tidak terlalu sehat
karena memiliki penyakit TBC, Ismail Marzuki tetap bersemangat untuk terus
berjuang melalui seni. Hal ini menunjukkan betapa rasa cinta pada tanah air
begitu tertanam kuat dalam dirinya.
2.4 Perempuan Pejuang
Opu Daeng Risaju “Kalau hanya karena
adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan
partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah
darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina
kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”(Opu Daeng Risaju, Ketua PSII Palopo
1930) Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Opu Daeng Risaju,seorang tokoh
pejuang perempuan yang menjadi pelopor gerakan Partai Sarikat Islam yang
menentang kolonialisme Belanda waktu itu, ketika Datu Luwu Andi Kambo
membujuknya dengan berkata “Sebenarnya tidak ada kepentingan kami mencampuri
urusanmu, selain karena dalam tubuhmu mengalir darah “kedatuan,” sehingga kalau
engkau diperlakukan tidak sesuai dengan martabat kebangsawananmu, kami dan para
anggota Dewan Hadat pun turut terhina. Karena itu, kasihanilah kami,
tinggalkanlah partaimu itu!”(Mustari Busra, hal 133).
Namun Opu Daeng Risaju, rela
menanggalkan gelar kebangsawanannya serta harus dijebloskan kedalam penjara selama
3 bulan oleh Belanda dan harus bercerai dengan suaminya yang tidak bisa
menerima aktivitasnya. Semangat perlawanannya untuk melihat rakyatnya keluar
dari cengkraman penjajahan membuat dia rela mengorbankan dirinya. Nama kecil
Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari
hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to
Barengseng. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di kerajaan Luwu. Dengan
demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dekat dari keluarga Kerajaan
Luwu. Sejak kecil, Opu Daeng Risaju tidak pernah memasuki pendidikan Barat
(Sekolah Umum), walaupun ia keluarga bangsawan. Boleh dikatakan, Opu Daeng
Risaju adalah seorang yang “buta huruf” latin, dia dapat membaca dengan cara
belajar sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah mengikuti sekolah
umum. Setelah dewasa Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud,
seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Opu Daeng Risaju mulai aktif di
organisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan
H. Muhammad Yahya, seorang pedagang asal Sulawesi Selatan yang pernah lama
bermukim di Pulau Jawa. H. Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang PSII di
Pare-Pare. Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di
Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibentuk pada tanggal 14 januari 1930 melalui
suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau).
Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan
daerah afdeling Masamba). Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi
kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melakukan tindakan
menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk
membangkang terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial
Belanda menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.
Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju.
Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam menyebarkan
PSII. Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng
Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam
menyebarkan PSII. Walaupun sudah mendapat tekanan yang sangat berat baik dari
pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak
menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di
daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan
biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Dia
berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia
miliki. Kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa, ternyata menimbulkan sikap tidak
senang dari pihak kerajaan. Opu Daeng Risaju kembali dipanggil oleh pihak
kerajaan.
Dia dianggap telah melakukan
pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan Hadat yang
pro-Belanda, Opu Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng
Risaju dianggap melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang). Anggota Dewan Hadat
yang proBelanda menuntut agar Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman dibuang atau
diselong. Akan tetapi Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju,
menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara
selama empat belas bulan pada tahun 1934. Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng
Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya
larangan dari pemerintah pendudukan Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi
Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII. Opu Daeng Risaju kembali
aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan yang
digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di
Sulawesi Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia. Ia banyak
melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada
pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya.
Opu Daeng Risaju ditangkap dalam
persembunyiannya. Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki
sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan
tanpa diadili kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke
Bajo. Selama di penjara Opu Daeng mengalami penyiksaan yang kemudian berdampak
pada pendengarannya, ia menjadi tuli seumur hidup. Setelah pengakuan kedaulatan
RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji
Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di ParePare. Sejak tahun 1950 Opu
Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi
itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau
dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa peristiwa
konflik yang terjadi pada masa kini,harus kita lihat sebagai potensi
disintegrasi bangsa yang dapat merusak persatuan negeri. Maka ada baiknya bila
kita belajar dari perjalanan sejarah nasional kita, yang juga pernah diwarnai
dengan aneka proses konflik dengan segala akibat yang merugikan,baik
jiwa,fisik,materi,psikis dan penderitaan rakyat. Bagaimanapun, salah satu guna
sejarah adalah dapat memberi hikmah atau pelajaran bagi kehidupan.
Selain dari peristiwa
sejarah, kita dapat juga mengambil hikmah dari teladan para tokoh sejarah.
Diantara mereka adalah para pahlawan nasional yang berjuang untuk persatuan
bangsa dengan tidak hanya menggunakan senjata, tetapi juga melalui karya berupa
seni,lukisan,musik,sastra atau ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar